Spearhead Circle

Mettamatika vol. 2,5: Prospek Kerja Jurusan Matematika

Sinopsis: Metta, saat kelas 12, tentunya pernah juga bingung memilih jurusan perkuliahan. Sesuai namanya, ia sangat menyenangi matematika. Tapi seperti biasa, tentunya cukup sedikit terlintas di benak Metta untuk mengambil jurusan matematika untuk kuliah. Akan tetapi, banyak orang-orang di sekitar Metta yang berkata “kuliah matematika ngitung-ngitung doang”, atau “kuliah matematika prospeknya jadi guru, kalau ga dosen, tau aja gaji dosen berapa…”. Banyak yang berkata seperti itu, mulai dari guru BK, tetangga, sampai pegawai BK.

Jadi, apakah mereka benar? Sebenarnya kuliah di jurusan matematika itu ngapain sih? Terus kuliah matematika lulusannya bisa jadi apa? Apakah salah menanyakan prospek kerja dari suatu jurusan? Apakah salah untuk berkuliah pada saat kita tahu kondisi dunia sedang tidak baik baik saja? Jangan khawatir, pada buklet Mettamatika yang sedang kita baca ini, kita akan coba menjawab tiga pertanyaan pertama. Untuk dua pertanyaan terakhir, entahlah, kita serahkan kepada pembaca sebagai latihan.

Part 1a: Kenapa masuk jurusan matematika?

Mungkin beberapa pembaca yang “suka berhitung” pernah disarankan untuk masuk jurusan matematika. Lalu terkadang terlintas di benak: memangnya jurusan matematika ngapain? Apakah menghitung bilangan yang lebih besar lagi? Apakah menambah rumus yang lebih belibet lagi? Kan sudah ada kalkulator? ChatGPT? Gemini?

Pertanyaan terakhir tidak dijawab di buklet ini, sudah beda topik. Tapi, apa saja yang bakal diajarkan di jurusan matematika? Kalau disebut secara kasarnya sih, biasanya mata kuliah yang diajarkan bakal seperti ini, dengan penjelasan cukup-singkat:

Sedikit iklan juga, kalau penasaran ``versi serius” dari mata kuliah jurusan matematika, silakan ikuti proyek blog penulis beserta kawan- kawan di morfID, sementara tersedia di IG @morfid.math dan wordpress morfidmath.wordpress.com. Udah lah ikutin aja hehehehe.

Nah, apakah mata kuliah-mata kuliah di atas juga memerlukan banyak perhitungan? Sayangnya tidak, kan sudah ada kalkulator dan komputer. Tapi sebenarnya, yang dipelajari dalam jurusan matematika adalah cara berpikir abstrak, dalam bahasa matematis. Kalau ditarik pada intinya, mata kuliah-mata kuliah yang telah ditulis di atas sebenarnya mengajarkan suatu hal yang serupa: cara berpikir secara abstrak. Atau cara berlogika.

Sebentar, memangnya apa gunanya hal seperti ini di dunia nyata? Memangnya kita perlu membuktikan untuk setiap epsilon lebih besar dari nol selalu ada delta lebih besar dari nol sehingga untuk setiap x…

Betul, memang permasalahan di mata kuliah mata kuliah matematika jarang ditemukan secara eksplisit di dunia nyata. Sama halnya seperti kita hampir tidak pernah menemukan orang yang membeli enam puluh buah semangka lalu ditambah dengan tiga puluh tujuh tandan pisang. Kecuali di pasar induk.

Akan tetapi, melatih cara berpikir lewat matematika dapat dimisalkan (meminjam bukunya Jordan Ellenberg, How not to be Wrong) seperti latihan nge-gym untuk pesepakbola. Tentunya, sewaktu main bola, kita tidak akan diminta untuk angkat-angkat barbel atau lari-lari di treadmill. Tapi tentunya, kita semua tahu bahwa kegiatan gym berguna untuk meningkatkan massa otot, yangmana tentunya akan berpengaruh untuk kebugaran pada saat bertempur di lapangan.

Nah, anggaplah belajar matematika seperti itu, tapi untuk otak.

Di sisi lain, latihan berpikir secara abstrak sangat berguna untuk menghadapi hal-hal baru, masalah-masalah kiwari yang tidak pernah dihadapi para leluhur sebelumnya; sebut saja seperti hukum lalu lintas bagi mobil tanpa pengemudi, bagaimana cara mengatasi pencucian uang dengan kriptokurensi, ataupun memilih waifu terbaik antara Kana Arima dan Akane Kurokawa. Meskipun untuk permasalahan terakhir, sudah jelas Aqua cocok-cocok saja dengan Kana dan Akane lebih cocok dengan saya.

Part 1b: Kenapa masuk jurusan matematika?

Dijawab oleh dosen-dosen Matematika ITB

Untuk menambah-nambah alasan, penulis memutuskan untuk bertanya kepada beberapa dosen ITB. Berikut penulis kutip jawabannya, secara verbatim:

Pak Hendra Gunawan:

Pak Aleams Barra, versi pendek:

Ya hasutannya kurang lebih : di era disrupsi oleh AI orang yang berbekal dengan kemampuan matematika akan bisa survive :)

Pak Aleams Barra, versi panjang:

William Thurston, seorang matematikawan ternama, pernah mengatakan bahwa matematika bukanlah tentang angka, persamaan, atau algoritma. Matematika sepenuhnya tentang understanding. Memilih jurusan matematika memang sering terasa seperti keputusan yang tanpa peta karier yang jelas. Tidak ada satu nama pekerjaan spesifik yang otomatis menanti setelah lulus. Namun justru di era disrupsi AI seperti sekarang, ketika semakin banyak pekerjaan berbasis prosedur dan hafalan dapat digantikan mesin, kemampuan memahami secara mendalam menjadi modal yang paling langka dan paling bernilai.

Belajar matematika melatih Anda untuk berpikir jernih dan sistematis: mendefinisikan masalah dengan tepat, bekerja di dalam kerangka asumsi yang jelas, memecah persoalan kompleks menjadi bagian-bagian yang dapat ditangani, mengenali pola, melihat abstraksi dari contoh spesifik, serta menguji kebenaran dengan ketelitian dan kerendahan hati intelektual. Kemampuan-kemampuan ini tumbuh karena seorang matematikawan, sejak awal, dilatih untuk tidak puas hanya dengan jawaban. Ia selalu menuntut pemahaman. Di masa depan, yang unggul bukanlah mereka yang hanya bisa menggunakan AI, melainkan mereka yang mampu mengarahkan penggunaannya, memformulasikan masalah dengan tepat, dan menilai kebenaran serta relevansi jawaban AI. Itulah kekuatan lulusan matematika.

Pak Aditya P. Santika:

Seperti buku-buku matematika pada umumnya, kesimpulan dari kutipan-kutipan di atas diserahkan kepada pembaca sebagai latihan.

Part 2: Jadi, lulusan matematika bisa jadi apa saja?

Pertama, kita harus mengonfirmasi suatu stereotipe yang lazim beredar di masyarakat. Ya memang benar, salah satu prospek lulusan matematika adalah jadi dosen atau guru. Perihal apakah pekerjaannya menghasilkan banyak uang… itu pertanyaan lain.

Jadi apa lagi sih prospek pekerjaan yang lain bagi lulusan matematika? Salah satu opsi lazim lain adalah menjadi ASN. Tetapi ini juga pekerjaan mainstream menurut penulis, jadi tidak akan dibahas lebih lanjut. Oh, kita juga tidak memperhitungkan management trainee yang lazim diselenggarakan perusahaan-perusahaan besar, lahwong biasanya lowongan beginian terbuka untuk umum.

(cr: Risu – Mettamatika vol. 2)

Jadi, apa saja opsi-opsi pekerjaan menarik yang tersedia dan relevan dengan keilmuan lulusan matematika?

Yang pertama, aktuaris, suatu pekerjaan yang menghitung “risiko”. Posisi ini biasanya lazim ditemui pada perusahaan-perusahaan asuransi (bukan sales!!!), lebih tepatnya di bagian yang menghitung “berapa premi yang harus Anda bayar”?

Memang benar bahwa ilmu risiko masih menyinggung-nyinggung ekonomi, akan tetapi ilmu ekonomi yang terkait dengan bidang ini… sangat matematis sekali. Terkhususnya, penulis sering mendengar komentar dari kolega penulis bahwa studi lanjut ekonomi sangat memerlukan fondasi matematika yang kuat. Penulis juga pernah mendengar bahwa mantan menteri ekonomi Indonesia sering meminta bantuan kepada salah satu profesor matematika ITB pada saat keduanya sekampus S3. Identitas diserahkan kepada pembaca sebagai latihan.

Tapi mungkin pembaca bertanya-tanya; kan sudah ada jurusan aktuaria, kenapa tidak masuk jurusan sana? Penulis menjawab, kalau jujur, jurusan aktuaria itu sangat spesifik. Lebih mudah bagi lulusan matematika belajar aktuaria dibandingkan lulusan aktuaria belajar matematika. Dan juga, meskipun lulusannya menjamur, tetap saja jalan masih panjang untuk menjadi seorang aktuaris sejati (maksudnya, yang bersertifikasi). Pada tengah 2010an memang ada propaganda “Indonesia perlu seribu aktuaris”. Meskipun propagandanya sudah tidak terlalu bergaung sekarang, penulis masih dibisiki oleh salah satu praktisi industri bahwa industri Indonesia masih perlu banyak aktuaris (yangsudah mapan). Untuk pembahasan lebih lanjut tentang aktuaria, silakan baca buku Mettamatika kedua tentang statistika. Hehehehe.

(cr: nunu - Mettamatika vol. 2)

Yang kedua, data analyst. Kalau kita percaya bootcamp-bootcamp yang beredar di dunia maya, memang benar semua orang bisa jadi data analis. Akan tetapi, skill dasar data analyst (atau data-dataan lain) berasal dari matematika, utamanya di bagian pengolahan data dan pemodelan.

Yang ketiga, quant. Ga ada di Indo sih, cuman anggap saja mereka mainnya di pasar saham lah. Detilnya bisa dilihat di internet, tapi jujur saja, pekerjaan ini sangat-sangat-sangat-cuan.

Tapi, sebenarnya apa lagi sih prospek kerja lulusan matematika?

Tentunya, tidak semua lulusan matematika bekerja “sesuai bidangnya”. Tapi kalau kata saya sih, santai aja. Toh sewaktu kita lulus kuliah, misalkan pada umur dua puluh tiga tahun, perjalanan sebenarnya masih panjang. Masih banyak opsi kehidupan yang bisa dilalui (kecuali kalo dikejar-kejar syarat lowongan maksimal dua puluh lima tahun sih, hadeh). Toh pada akhirnya hidup juga tidak selamanya lurus-lurus saja. Lahwong lulusan kehutanan aja bisa jadi presiden.

Sebelum melanjutkan, mungkin kalian bertanya-tanya; kenapa penulis sendiri memilih masuk jurusan matematika? Kilas balik ke masa SMA, penulis memang sering ikut kompetisi matematika (perihal apakah menang atau tidak, itu topik pembahasan lain). Jadi, penulis sudah merasa bahwa “wah matematika ternyata tidak se’menghitung’ itu”. Oleh karena itu, penulis sempat galau tentang memilih jurusan; apakah matematika, atau ilmu komputer?

Penulis mendapatkan jawaban utamanya saat bertemu pak Aleams Barra pada saat kelas 12, yang secara singkatnya memberikan wejangan yang serupa dengan yang penulis sekarang. Khususnya, beliau berkata kepada penulis,

“Ya, jurusan matematika fleksibel sih, bisa jadi apa saja”.

Waktu itu, penulis mengira apa saja merujuk ke pekerjaan-pekerjaan di atas. Tapi, kilas maju beberapa tahun kemudian, penulis makin merasa wejangan pak Barra di atas makin benar.

Sebut saja Richard Garfield, seorang mahasiswa matematika University of Pennsylvania yang suka membuat permainan kartu. Bahkan saat kuliah, beliau mengorbankan teman-teman kuliahnya sebagai kelinci percobaan untuk mengetes permainan-permainan buatannya. Lulus S3 di Pennsylvania, beliau sempat mengajar di kampus lain selama setahun. Akan tetapi, setahun kemudian dia memutuskan untuk keluar dan mewujudkan game buatannya menjadi kenyataan…

…dan salah satu dari game tersebut adalah Magic: the Gathering.

Karena pada awal buklet ini penulis mengaitkan matematika dan olahraga, penulis perlu membahas John Urschel, seorang mantan pemain American football era 2010-an. Pada saat aktif di NFL (liga American football terbesar di dunia), beliau pulang-pergi mengambil studi S3 matematika di MIT. Beberapa waktu kemudian, ia memutuskan pensiun setelah membaca riset tentang risiko cedera otak pensiunan NFL, dan memutuskan menjadi matematikawan penuh-waktu. Sekarang beliau masih di MIT, mengabdi sebagai dosen di almamaternya sendiri. Ohya, jerseynya juga dipakai Metta untuk cover buklet ini.

Masih di dunia olahraga, tapi kembali ke Indonesia lebih tepatnya ke almamater penulis, kita bisa lihat Ratu Tisha. Dulunya beliau aktif di unit sepakbola universitasnya, lebih tepatnya sebagai manajer. Lulus kuliah, beliau sempat berkarir melanglangbuana di perminyakan (jangan salah, perminyakan juga mengincar kemampuan pemodelan matematika!). Akan tetapi, beliau memutuskan untuk mengambil studi S2 disponsori FIFA. Lepas S2, beliau banting setir dari perminyakan untuk berkarir di sepakbola Indonesia, berujung menjadi wakil ketua PSSI (pada saat tulisan ini dibuat, November 2025).

Dalam kasus agak terbalik, kita beralih ke Romania untuk melihat Nicusor Dan. Pada saat SMA, beliau dua kali mendapatkan nilai sempurna dua kali saat menjadi peserta International Mathematical Olympiad, ya secara kasarnya kompetisi matematika antar negara paling prestisius untuk siswa sekolah.

Lulus SMA, beliau melanjutkan karir sebagai matematikawan dan mengambil S3 di Perancis. Akan tetapi, selepas lulus, beliau memutuskan kembali di Romania dan mengembangkan institusi pembelajaran matematika Școala Normală Superioară București untuk mengembangkan riset matematika di Romania (fakta sampingan: dosen pembimbing penulis sempat mengenyam pendidikan di sini).

DI sisi lain, beliau juga menjadi aktivis politik di Romania dani kemudian hari terpilih menjadi walikota Bucharest, ibukota Romania. Lima tahun menjadi walikota di sana, nama beliau populer sebagai simbol antikorupsi pada saat itu. Dan pada 2025, beliau memutuskan maju menjadi presiden Romania dan ternyata berhasil terpilih. Selamat!

Sedikit catatan kaki: Lee Hsien Loong, perdana menteri Singapura, sempat juga mengenyam pendidikan jurusan matematika di Cambridge. Beliau sempat menjadi Senior Wrangler, sebutan untuk mahasiswa dengan nilai tertinggi di angkatan universitas Cambridge, dan sempat diprediksi akan menjadi matematikawan kelas dunia. Akan tetapi, beliau memutuskan untuk kembali mengabdi kepada negeri sebagai politisi.

Dan masih berbicara kepemimpinan, kita perlu bahas juga tentang seorang lulusan matematika Vilanova University yang sekarang pindah ke Vatikan untuk menjadi pemimpin negaranya (dan juga mendapat title Paus Leo XVI).

Tentunya, masih banyak lagi lulusan matematika yang banting setir ke jurusan yang “bukan bidangnya”. Untuk menutup buklet ini, penulis mewawancarai salah satu teman penulis yang sama-sama lulusan matematika, tetapi sekarang berkarir sebagai ilustrator lepas penuh waktu.

Part 3: Testimoni seorang alumni Matematika

Seperti yang penulis katakan di bab sebelumnya, lulusan matematika bisa tersebar di mana-mana. Untuk membuktikan hal ini, penulis berhasil mewawancarai salah satu kawan penulis sesama lulusan matematika (tapi beda univ), sebut saja Koucha. Setelah lulus dari salah satu universitas top di Indonesia, beliau memutuskan untuk meneruskan keilmuannya untuk menjadi ilustrator penuh-waktu di internet. Karena buklet ini tipis, kita langsung saja ke inti pertanyaan.

Ohya, kalau tertarik lebih lanjut tentang beliau, silakan lihat-lihat karya beliau di Twitter: @ChabashiraRibon. Penulis tidak bertanggungjawab atas isi konten dari akun tersebut.

F: Furra (penulis), K: Koucha

F: Jadi kenapa Anda memutuskan “banting setir” menjadi ilustrator? Bagaimana motivasinya?

K: Yg memulai itu ketika SMA kelas 12, karena di masa itu sekolah sudah mau selesai, dan sudah ga ada lagi lomba2 yg perlu difokuskan. Jadi, pertanyaan yg muncul tentunya “apakah cuma begini kedepannya hidupku, disekitar math doang dan ga ada yg lain?”

Intinya mencari kesibukan lain dan apa yg aku suka. Karena waktu itu jaman2nya suka anime related stuff dan terutama musiknya. Dari situ muncul banyak imajinasi di kepala, dan aku mikir ‘alangkah indahnya kalo aku bisa menggambarkan apa yg aku pikirkan di kepala (mostly suasana alam)’ Ga kelihatan seperti banting setir ya kyknya? lebih kyk… gradually pindah haluan sepanjang masa kuliah, keep up dengan perkuliahan + fokus mengembangkan skill menggambar diwaktu senggang. Tapi juga, bukan berarti sebelum masuk kuliah aku udah menetapkan jadi illustrator, karena aku sendiri ga yakin aku bisa gbr.

Kemudian ketakutan ini berubah sedikit demi sedikit, pertama dari pengalaman magang di suatu perusahaan, yg bikin aku lebih mikir ke ‘ini bukan sibuk di kantor, tapi karena di kantor ini aku ga bisa ngerjain gambar, nyatanya disana ga terlalu sibuk apa2 (pas itu begitu)’ Jadi bukan sibuk, aku lebih ga suka ngelihat wasted time ku yg ada dimagang ini, mestinya bisa buat hal lain Kedua, ketakutan dengan skill gambarku diringankan dengan melihat bagaimana actual pasarnya pas itu, tidak setinggi itu skill requirementnya, dan tidak serendah itu penghasilannya (assuming anda bermain langsung di pasar luar), tentunya ini gamble, tapi akhirnya aku memilih ini. (Lets go gambling) Butuh waktu sekitar setahun setelah lulus sebelum akhirnya aku bisa stabil di pergambaran. Di waktu itu, kebutuhan hidup masih setengahnya disupport ortu.

Yes its a gamble. Kalo dalam span setahun itu aku ga berhasil di pergambaran, aku beneran berniat balik di kerja yg related dengan data science

F: Pernah berada di persimpangan jalan dalam karir tersebut?

K: Tentu. Jadi ada hal2 yg aku takutkan dan juga hal2 yg aku rasa seru untuk didalami di math. Perkuliahan ini mengenalkanku ke banyak konsep baru di math yg bikin math jadi seru lagi untuk dipelajari. Waktu itu aku suka apapun yg berurusan dengan Image processing, jadi naturally konsep Linear Algebra dan apapun yg related dengan matrix itu bagian favoritku. Di semester2 akhir aku juga mulai tertarik dengan data science.

Tapi hal itu juga diinspirasi dari pertanyaan “Gimana caranya aku menggambar sebagai seorang mathematician?” <— mungkin aku merasa butuh failsafe in case aku ga berhasil belajar menggambar Jadi, choicenya itu Image processing / Data science vs Illustrator. Dari dua pilihan itu, hal yg aku takutkan adalah

Kalo kerja kantoran di bidang itu, khawatir kesibukannya ga bikin aku sempet belajar gambar (karena di posisi ini aku masih mikir gambar sebagai side hobby aja). Kalo kerja illustrator, ga yakin bisa survive atau bahkan bisa dapet duit apapun dari sini, skill masih rendah.

F: In hindsight, apakah Anda bakal tetap di jalan ini?

K: Lebih ke “harus” tetap di jalan ini. Karena aku sudah memilih untuk tidak terikat waktu dan tempat lagi, ga akan masuk akal untuk aku memilih kembali diikat oleh dua hal itu. Sebisa mungkin, berjuang agar tetap disini. Ini idealis, in fact, ga semuanya bisa seenak ini memilih keterikatannya.

F: In hindsight apakah Anda bakal pindah jurusan dari matematika ke senirupa/yang berkaitan gegambaran dari awal? Kenapa?

K: Dari awal milihnya matematika dan ga akan pindah. Kenapa? aku gabisa gambar (pas itu) wkwkw

F: Coba berikan cocoklogi tentang kemampuan matematis yang berguna di pekerjaan sekarang.

K: Begini cara belajarku:

Sebutlah anda melihat suatu gambar, dan gambar itu memunculkan suatu impresi tertentu di pikiran anda (Perasaan tertentu, Kesan tertentu) Tugas anda skrg adalah mencari faktor apa saja yang membuat hal itu berhasil (menimbulkan kesan di pikiran anda) Hal seperti ini bisa spesifik sampai ke level helaian rambut dan pilihan warna. Jadi, berteorilah sesuka anda, apapun yg membuat reasoningnya valid bagi diri anda adalah hal yg valid.

Ketika ada gambar kedua menghasilkan impresi yang sama, anda bisa evaluasi lagi apakah faktor2 yg sebelumnya anda asumsikan sebagai kontributornya juga ada di gambar yg kedua ini, lalu koreksi lagi teori anda. Jadi secara simplenya, untuk setiap pemetaan dua gambar ke impresi yg sama, mestinya terdapat basis yg menentukan hal dasar penentu impresi itu. Untuk setiap impresi terdapat vector space berisi kumpulan gambar dengan basisnya adalah hal dasar penentu impresi.

Salah satu faktor yg bakal anda temukan nantinya adalah artstyle. Untuk hal ini, fokusku adalah style dalam menggambar anime style. Yg aku temukan itu setiap artstyle didasarkan dari 3 hal, Anatomy, Color choice, dan Habit.

Gambar seseorang pada dasarnya adalah kombinasi dari 3 hal ini dalam komposisi yg berbeda2. Kalo artstyle disebut sebagai Module dengan komposisi gambar sebagai skalarnya, berarti terdapat Module Homomorphism untuk mengubah style gambar orang ke style gambar kita.

Tapi sebenarnya, yg paling useful dari mathnya itu sih ya… logic nya dan kebiasaan untuk ngeprove everything. Jadi semua hal gw tanyain ‘why’.

F: Ada insight untuk bisa survive di industri ini?

K: Ini both blessing and curse. Dalam pergambaran, fokuskan branding anda dalam satu hal tidak umum yang digemari sekumpulan orang spesifik (dibaca : fetish). Assuming gambar anda udah cukup decent, sekalinya anda ditemukan mereka, anda akan secara rutin dikomis oleh mereka.

Pro : Anda technically punya stable income.

Con : Anda terjebak menggambar satu hal yg sama berulang2.

Pastikan yg anda pilih tidak terlalu jauh dari kegemaran anda, otherwise income anda bakal jadi biaya recovery mental anda

F: Pesan untuk pembaca, terutama yang ‘banting setir`?

Time > Money. Ubah semua kesempatan finansial anda menjadi waktu senggang. Jika anda memang berniat untuk banting setir, saatnya invest more dalam kesempatan untuk banting setir itu.

Untuk jurusan math, skill math itu sifatnya universal (bisa diaplikasikan di semua bidang, if you think hard enough), jika anda benar2 paham konsepnya dan bukan sekedar hafalan, hal itu bisa digunakan untuk mempermudah anda memahami hal apapun.

Penutup

Terima kasih sudah membaca buklet singkat ini. Buklet ini merupakan bagian dari serial Mettamatika 2.5, seri zine singkat tentang matematika oleh Spearhead Circle dalam bahasa Indonesia. Lewat buklet singkat ini, semoga pembaca dapat tercerahkan tentang apa saja yang bisa dilakukan lulusan matematika

Terima kasih terhadap tim Spearhead atas kesediaannya membantu terwujudnya buku ini. Terima kasih terkhusus ditujukan kepada Thomas, yang dengan sabar me-layout buku ini meskipun skripnya bahkan baru terpikir beberapa minggu sebelum CF. Terima kasih terhadap pak Hendra, pak Barra, dan pak Adit atas sumbangan kutipannya. Terima kasih untuk akun twitter @catuaries atas diskusi terkait aktuaria dan Koucha atas kesediaan diwawancara. Terima kasih terhadap illustrator utama bullet ini, Tara, dan Risu (@examorhca) serta nunu (@nununununbit) atas kesediaan menyumbang ilustrasi untuk buklet ini.

Mohon doa juga agar penulis bisa menyelesaikan buku disertasi dan mendapat kejelasan tentang pekerjaan selanjutnya. Tentunya penulis sudah menerapkan ilmu yang dituliskan di zine ini, pake nanya.

Ohya, silakan beli proyek utama kami, Mettamatika #1 dan #2, buku matematika berilustrasi tentang kalkulus dan statistika. Lumayan, untuk bantu penulis pulang kampung. Silakan kontak Spearhead Circle untuk informasi lebih lanjut. Tunggu juga pengumuman tentang Mettamatika #3, segera.

Sydney, November 2025.

Furra ( afifurra.github.io )

Mettamatika vol. 2,5

Tim:

Mettamatika vol. 2,5 – Prospek Kerja Jurusan Matematika

Text: Furra

Illustration: sekarjoget

Cover: sekarjoget

Spearhead Circle @ M-02/03 Comic Frontier 21

#Mettamatika #Mettamatika Vol. 2,5 #Mettamatika Paruh